historia.co.id, “Kompi Kristen di Batalyon Hizbullah", (2019).
Bagaimana sekelompok umat Kristiani bahu membahu dengan
orang-orang Islam melawan tentara Inggris dan Belanda.
BEKAS jalan raya Cianjur-Ciranjang-Bandung itu sudah tak
berbentuk lagi. Permukaan aspalnya sudah tertutup semak-semak. Sementara
berbagai pepohonan liar tumbuh subur di sekitarnya. Sebagian sudah menjulang
tinggi dan berukuran raksasa, rimbun melindungi kawasan tersebut dari sengatan
matahari.
Jalan yang diapit oleh tebing tinggi dan jurang yang curam
itu sejatinya masuk dalam wilayah tepi Sungai Cisokan dan termasuk dalam jalur
De Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal H.M. Daendels
(1808—1811). Namun sejak akhir 1970-an, jalur (sekaligus jembatan-nya yang
melintasi Sungai Cisokan) itu sudah tidak lagi dipergunakan dan terbengkalai
begitu saja.
“Malah beberapa tahun lalu sempat dijadikan lahan pembuangan
sampah untuk wilayah Kecamatan Ciranjang dan sekitarnya, tapi setelah ada
protes dari warga lalu dihentikan,” ujar Achmad Saepudin, salah seorang
penduduk di sekitar wilayah itu.
Tak banyak orang mengerti, jika tempat itu 73 tahun lalu
merupakan salah satu medan pertempuran paling brutal bagi tentara Inggris
(terutama dari Kesatuan Gurkha Rifles) di Pulau Jawa. Mereka kerap menyebutnya
sebagai jalur neraka Ciranjang, karena di sanalah banyak anggota pasukan
Inggris menemui ajal. Begitu pentingnya arti tempat itu bagi mereka, sehingga
Red Flash (majalah internal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha
Rifles, Inggris) pernah mengulasnya secara khusus dalam sebuah judul: “The
Battle of Tjirandjang Gorge” (Pertempuran di Tebing Ciranjang).
Salah satu kekuatan milisi yang sempat menyusahkan
prajurit-prajurit asal Nepal itu adalah Kompi Yotham Marchasan dari Batalyon
Ill Hizbullah. Kompi Yotham berisi para pemuda Kristen dari wilayah Gunung Halu
(sebuah distrik Kristen di Cianjur yang dibentuk pada 1901 oleh pemerintah
Hindia Belanda).
Menurut Wijaya dalam Lasykar Hizbullah Antara jihad dan
Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI, 1945-1949, mayoritas anggota Kompi
Yotham adalah pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang. Lantas bagaimana
ceritanya para pemuda Kristen itu bisa menggabungkan diri dengan sebuah milisi
muslim terbesar di Indonesia saat itu?
RADEN MAKMUR (95), masih ingat kali pertama melihat sosok
Yotham Marchasan. Secara pribadi, dia yang saat itu masih seorang pemuda hijau,
merasa terkesan dengan penampilan berwibawa pemimpin pemuda Kristen asal
Rawaselang, Gunung Halu tersebut.
“Orangnya memang kecil, tapi tatapannya tajam menusuk
seperti tatapan seekor macan, ujar lelaki yang juga pernah aktif di Lasykar
Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) itu.
Yotham awalnya adalah anggota Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika militer Jepang kalah perang, dia lantas menggabungkan diri dengan
Lasykar BBRI Ciranjang pimpinan Mohamad Ali. Namun ketika BBRI dipukul mundur
ke arah selatan Ciranjang oleh pasukan Inggris, Yotham yang tertinggal di
bagian utara memutuskan untuk bergabung dengan Batalyon Ill Hizbullah pimpinan
Mochamad Basyir.
“Abah (Yotham) dalam berjuang tak pernah membeda-bedakan
agama. Selama orang-orang itu memerangi tentara Inggris dan Belanda, kata dia
ya mereka adalah saudaranya,” ujar Missnetty Marchasan (77), salah satu putri
dari Yotham Marchasan.
Alih-alih ditolak, keinginan bergabung kelompok Yotham
justru disambut secara baik oleh Mochamad Basyir. Para pemuda Islam di
Hizbullah sendiri sebenarnya sudah akrab sejak lama dengan para pemuda Kristen.
Mereka rata-rata berasal dari kampung yang sama di Gunung Halu. Begitu
akrabnya, hingga untuk urusan markas besar saja, Batalyon III Hizbullah memilih
rumah seorang janda tua yang merupakan seorang Kristen taat. Namanya Rachel.
"Bagi kami saat itu, urusan agama adalah urusan pribadi
dengan Tuhan," ungkap Makmur. Yotham tidak sendiri. Ada banyak
pemuda-pemuda Kristen Gunung Halu yang kemudian bergabung dengan Hizbullah dan
bernaung di bawah Kompi Yotham. Para pemuda itu antara lain Samuel dan Carson
dari Rawaselang, Nabot dari Jatinunggal, Mojo dari Calingcing, Raiin Majiah
dari Palalangon, Maad dan Madris dari Pangarengan, Cipto Adhi dari Ciendog dan
Alfius dari Pasirkuntul.
Batalyon Ill Hizbullah yang bermarkas di tengah-tengah umat
Kristiani di Palalangon melangsungkan hubungan yang baik dengan masyarakatnya.
Mereka selalu saling membantu jika ada kesulitan. Bahkan menurut peneliti
sejarah Wijaya, saat awal berdirinya pada Februari 1946, Gereja Kristen
Palalangon di bawah pimpinan Pendeta Empi pernah menyumbangkan beberapa barang
milik gereja untuk Hizbullah. Soal itu memang dibenarkan oleh Raden Makmur.
“Pendeta Gunung Halu (Empi) menyumbangkan dua ekor kuda dan
satu mesin tik untuk keperluan administrasi Hizbullah,” ujar Makmur.
Kedua ekor kuda tunggangan itu dalam kenyataannya sangat
berguna untuk mobilitas pasukan Batalyon Ill Hizbullah. Terutama ketika mereka
harus menyampaikan surat-surat penting ke induk pasukan di Purwakarta.
Tidak hanya menyediakan fasilitas non-tempur, para pemuda
Kristen di Hizbullah itu juga terbilang aktif mencari senjata api. Menurut
Omek, eks pejuang Batalyon lil Hizbullah, salah satu senjata api pertama yang
dimiliki oleh kesatuannya merupakan hasil kerja keras para pemuda Kristen.
Senjata jenis Steyr lengkap dengan 10 hower peluru-nya itu didapat oleh Raiin
Majiah dari seorang bekas anggota polisi di era Hindia Belanda.
“Karaben itu kemudian dicoba oleh Alfius dan ternyata masih
berfungsi baik. Lalu diberikan kepada Pak Komandan (Mochamad Basyir) dan diberi
nama “Si Cikal",” tutur Omek.
Setelah mendapatkan Steyr itu, lambat laun Batalyon Ill
Hizbullah terus melengkapi pasukannya dengan senjata api. Selain itu, mereka
pun kemudian mendapatkan beberapa peti granat dan puluhan bom batok (ranjau
darat).
Dengan modal senjata-senjata sederhana itulah mereka
bertempur melawan tentara Inggris dan Belanda.
CIRANJANG awal 1946 adalah neraka terpanjang bagi para
tentara Inggris yang melewati jalur Cianjur-Bandung. Sejak Desember 1945 hingga
April 1946, tak henti-nya mereka selalu disergap dengan serangan mendadak dari
balik tebing-tebing tinggi sepanjang Sungai Cisokan.
“Pertempuran Cisokan berlangsung cukup lama,” tulis A.H.
Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer
Belanda I.
Bersama pemuda-pemuda Muslim, Kompi Yotham kerap terlibat
dalam penghadangan konvoi militer Inggris di jalan raya Ciranjang-Bandung.
Mereka pun menjadi saksi, bagaimana kuat dan “mengerikannya” alat-alat perang
milik Sekutu.
“Abah (Yotham) sering cerita, kalau dibawa perasaan mereka
tentu saja merasa takut, tapi jika ingat mereka (maksudnya tentara Inggris)
menginjak-injak tanah air Abah dengan seenaknya dan membunuh kawan-kawan Abah,
muncul rasa marah dan keinginan untuk melupakan kematian,” ujar Missnetty.
Tahun 1947, Indonesia seutuhnya diserahkan Inggris kepada
Belanda. Seperti para pemuda Indonesia lain, pemuda-pemuda Kristen yang
tergabung dalam Kompi Yotham Batalyon Ill Hizbullah pun tak bisa menerima itu.
Mereka pun melawan dengan melakukan penyerangan-penyerangan terhadap markas
militer Belanda di kota Ciranjang.
“Dalam pergerakannya, Kompi Yotham dikenal sangat pemberani
namun cerdas dalam berstrategi, hingga tak jarang menimbulkan kerugian besar di
kubu musuh,” demikian diungkapkan dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat
Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur yang disusun oleh Panitya Penyusun Data
Perjuangan Kecamatan Ciranjang.
Militer Belanda sangat bernafsu sekali menguasai basis
Batalyon Il Hizbullah di Gunung Halu. Namun para petarung Hizbullah yang
berbeda agama itu selalu bisa mengkandaskan serangan-serangan tentara Belanda
dengan memanfaatkan situasi medan yang sangat sulit. Saat mempertahankan tanah
tumpah darah itulah, satu-persatu anggota Hizbullah termasuk pemuda-pemuda
Kristen, berguguran. Salah satu pemuda Kristen yang gugur ditembak tentara
Belanda di depan gereja Rawaselang adalah Samuel.
Namun militer Belanda tak puas sebelum membekuk Yotham.
Sejak itulah, dia kemudian menjadi buruan militer Belanda, namun selalu
berhasil lolos. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya harus terjatuh jua.
Karena ulah seseorang yang masih terbilang saudaranya, militer Belanda akhirnya
dapat meringkus Yotham.
"Saya masih ingat, suatu sore Abah didatangi dua
serdadu Belanda lalu digiring dengan tangan terikat,” kenang Misnetty
Marchasan. Yotham lantas ditahan di penjara Cianjur. Sebagai pejuang gerakan
pembebasan, dia mendapat perlakuan sangat buruk: dihina, dipukuli dan disiksa
secara psikis maupun fisik. Hampir tiap hari dia dijadikan “mainan” para
interogatornya. Namun Si Macan Gunung Halu tetap memilih bungkam dan bertahan
untuk tidak membocorkan rahasia-rahasia batalyon-nya.
Karena kekerasan prinsipnya yang bagai baja, para
interogatornya menjadi patah arang dan pada suatu hari menyiksa Yotham hingga
dia nyaris mati. Dalam kondisi tak sadarkan diri dan mandi darah, dia kemudian
dilemparkan ke selnya. Tak ada yang berani menolong Yotham, kecuali seorang
haji pemberontak bernama Ali. Dengan telaten, dia merawat Yotham.
"Untuk megupayakan Abah tetap sadar, Abah bilang Haji
Ali melap wajah Abah dengan kain yang direndam air seni karena di sel air
sangat sedikit," ujar Misnetty.
Hampir tiga bulan Yotham menjadi pesakitan. Atas jasa adik
iparnya yang seorang perwira Belanda, dia berhasil dikeluarkan dari penjara.
Tapi dasar tipikal pejuang tangguh, keluar dari bui dia malah langsung
bergabung lagi dengan pasukannya. Terakhir Yotham menjadi anggota Batalyon
Nasuhi Divisi Siliwangi.
Pasca pengakuan kedaulatan, Yotham memilih menjadi orang
sipil. Namun, api perjuangan senantiasa berkobar dalam jiwanya. Kepada
anak-anak dan para cucunya, dia selalu menekankan bahwa harus baik-baik
memanfaatkan alam kemerdekaan. Di usia senjanya, Yotham dikenang oleh para
cucunya sebagai seorang lelaki yang sangat mencintai Indonesia.
"Setiap 17 Agustus, dia selalu ingin merayakan Hari
Ulangtahun Kemerdekaan secara khusus di rumah bersama anak-anak dan para
cucunya. Dia akan marah dan sedih jika ada dari kami yang tidak ikut
merayakannya,"kenang Lusi, salah seorang cucu Yotham.
Tahun 1990, Yotham meninggal dengan tenang dalam usia 77 tahun. Jasadnya dikebumikan pada sebuah dataran tinggi di Rawaselang, Gunung Halu, seolah pertanda jiwa raganya tak pernah berhenti untuk menjaga dan mencintai tumpah darahnya tercinta, yang pernah dibelanya dengan keringat, darah dan air mata bersama-sama kawan-kawannya di Batalyon Ill Hizbullah.