DESCRIPTION

Catatan: Artikel berita ini bersumber dari harian Suara Pembaruan tanggal 31 Agustus 2005, yang dihimpun oleh Biro Litbang dan Komunikasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di dalam “Kliping Pers Agama- Masyarakat”, Edisi Khusus/2005, halaman 27-28. JAKARTA - Surat Keputusan Bersama (SKB) No 1 tahun 1969 tentang Pembangunan Rumah Ibadah diminta segera dicabut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SKB yang ditandatangani oleh KH Moh Dahlan sebagai Menteri Agama dan Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri, pada 13 September 1969, di Jakarta, dinilai telah disalahgunakan bahkan dijadikan sebagai alasan untuk mengganggu kebebasan umat beragama lain. Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR, Helmy Faishal Zaini, Badriyah Fayumi, anggota FKB, dan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), Jacobus Mayong Padang, menyatakan hal itu kepada pers di Jakarta, Selasa (30/8). Khususnya FPDI-P, pada hari itu, menerima utusan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ahmadiyah dan utusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Menurut Jacobus, pertemuan dengan keempat pihak itu dilaksanakan atas undangan dan inisiatif FPDI-P. FPDI-P ingin mengetahui lebih jauh perkembangan penutupan sejumlah tempat ibadah di beberapa tempat di Bandung. "Dari penuturan Nugraha M, perwakilan Pemprov Provinsi Jawa Barat, aksi penutupan gereja oleh kelompok-kelompok radikal merebak setelah beberapa waktu lalu Maelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Sementara masyarakat di sekitar tempat berdirinya gereja tidak keberatan dengan keberadaan tempat-tempat ibadah itu," kata Jacobus. Sementara itu, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) menilai, dari hasil penelitian dan investigasi yang dilakukan, ditemukan bahwa SKB telah membawa kerugian kepada kelompok-kelompok agama tertentu. "Karena itu, kami di FKB melihat, SKB itu harus ditingkatkan menjadi undang-undang (UU), misalnya menjadi UU Kerukunan Hidup Beragama sehingga bisa mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok masyarakat,” kata anggota Komisi VI DPR dari FKB Badriyah Fayumi. Sekretaris FKB Helmy Faishal Zaini mengatakan, penutupan sejumlah gereja di Bandung melecehkan hokum dan konstitusi Indonesia. "Penutupan gereja di sekitar Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini oleh sekelompok masyarakat menjadi bukti bahwa supremasi hukum masih jauh dari yang kita harapkan bersama," katanya. Perlindungan Mayoritas Dalam pandangan FKB, kata dia, penutupan gereja-gereja yang dilakukan sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam, sangat bertentangan dengan semangat dan konstitusi negara. "Bukankah Islam mengajarkan bahwa kelompok mayoritas harus memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas? Mengapa sebagai kelompok mayoritas di negeri ini, masyarakat Islam kurang mampu melindungi kelompok minoritas?" ujarnya. Hal senada dikemukakan KH Fuad Amin, anggota Komisi V DPR dari FKB. Ia menambahkan, jika alasan yang digunakan adalah karena kelompok minoritas telah melanggar hukum dengan mendirikan rumah ibadah tidak melalui izin atau dibangun tidak pada lokasi yang tepat, maka pernyataannya, apakah selama ini umat Islam juga melakukan hal yang sama? "Artinya, jika egoisme agama ini terus dikembangkan, maka yang terlahir hanyalah rasa permusuhan dan kebencian antar umat beragama," katanya. Jacobus lebih jauh mengatakan, selain meminta mencabut SKB, FPDI-P juga meminta pemerintah mencabut surat edaran Departemen Agama No D/BA.01/3099/84 tentang pelarangan Aliran Ahmadiyah karena dampaknya sangat luas yakni memicu praktek diskriminasi di masyarakat. Untuk itu, kata Jacobus, FPDI-P akan mengambil sikap konkret guna menghadapi tindakan-tindakan pembiaran aksi kekerasan di masyarakat, dengan meminta pertanggungjawaban dari Menteri Dalam Negeri, Polisi, Jaksa Agung dan beberapa instansi lainnya. Jacobus mengatakan, berdasarkan catatan sementara, sejak Presiden Soekarno berkuasa (17 Agustus 1945) sampai Presiden Yudhoyono (22 Agustus 2005), sebanyak 944 gedung gereja hancur oleh aksi anarkis massa, dengan perincian, masa Pemerintahan Soekarno (2 gedung gereja), Soeharto (456), BJ Habibie (156), Abdurrahman Wahid (232), Megawati Soekarnoputri (79) dan Presiden Yudhoyono (19). Direktur Eksekutif Yayasan Wakaf Paramadina, Prof. Dr.Komarudin Hidayat pun meminta agar pemerintah memiliki ketegasan dalam menyikapi konflik-konflik yang dihadapi umat beragama. "Pemerintah harus tegas dan memberikan fasilitas kepada agama itu untuk menyelesaikan persoalannya sendiri, karena mestinya agama itu menjadi problem solving bukan part of the problem," ujar Komarudin kepada wartawan di sela pemakaman tokoh nasional, Prof Dr Nurcholish Madjid di TMP Kalibata, Selasa (30/8). Menurut Komorudin dirinya prihatin karena masih sering terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama di Indonesia. Seperti diketahui belakangan ini di Bandung sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi keagamaan merusak tempat beribadah kaum nasrani. Oleh karena itu, lanjut ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), diharapkan kedewasaan tokoh-tokoh agama bagaimana menyelesaikan problem internal dan hubungan antar umat beragama. "Dalam konteks inilah Kita kehilangan orang semacam Cak Nur, yang pemikiran dan teologisnya banyak mengayomi orang-orang minoritas tanpa pamrih. Cak Nur kalau membela bukan karena kalkulasi politik, tapi karena keyakinan agama dan humanismenya," katanya. Toleransi Sementara itu Ketua DPP Partai Golkar, HM Muas, mengemukakan, saat ini tidak boleh dibiarkan adanya berbagai pihak yang mengambil keuntungan dari berbagai persoalan yang tengah dihadapi pemerintah. Reformasi ini dibutuhkan untuk menjadikan manusia Indonesia yang bermoral. Karena itu, nilai-nilai moral dan manusia yang berkepribadian itu jangan sampai dirusak oleh oknum- oknum tertentu, tegas Muas kepada Pembaruan, Rabu (31/8) di Jakarta menjawab pertanyaan seputar aksi beberapa penutupan gereja di berbagai tempat. Menurut Muas, betul pernyataan yang ditegaskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa aksi penutupan gereja itu harus dihentikan. Pernyataan itu juga merupakan bagian dari sikap yang telah ditetapkan Partai Golkar yaitu semua dikembalikan ke ketentuan hukum yang ada termasuk SKB dua menteri. Indonesia ini adalah negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan saling menghargal serta mengakui agama masing-masing. Karena itu, tambahnya, harus dihindari nilai dan sikap yang mengemukakan tindak kekerasan yang pada dasarnya merugikan banyak pihak. Kerugian ini pun bisa berdampak bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga merebak ke luar negeri.

META DATA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Tidak Diketahui
Bentuk Solusi
Tidak Diketahui
Status KBB
Berpotensi Mendukung KBB
Data
Tautan
Komunitas Terdampak
Umat Lintas Agama di Tanah Air