DESCRIPTION

Catatan: Artikel berita ini bersumber dari harian Suara Pembaruan tanggal 25 Agustus 2005, yang dihimpun oleh Biro Litbang dan Komunikasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di dalam “Kliping Pers Agama- Masyarakat”, Edisi Khusus/2005, halaman 21. JAKARTA – Penutupan sejumlah tempat ibadah dan gereja di Jawa Barat dan Jawa Tengah, dicermati berbagai kalangan bahwa pemerintah telah gagal melindungi dan menjamin warga negaranya menjalankan ibadahnya dengan tenang . Padahal, penutupan tersebut jelas merupakan bentuk anarkisme dan aksi kriminal yang dilakukan sekelompok orang berkedok organisasi keagamaan. "Saya sangat prihatin dengan serangkaian kasus kekerasan yang berbau agama belakangan ini. Penutupan tempat ibadah di Jawa Barat apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Anehnya, aparat keamanan membiarkan hal ini terjadi. Ini menunjukan pemerintah dan aparat keamanan gagal melindungi umatnya untuk memeluk agama dan beribadah secara bebas dan aman," ujar Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra, dalam seminar dan peluncuran buku Amerika Baru Yang Religius di Jakarta, Rabu (24/8). Menurut dia, seharusnya peran pemerintah adalah melindungi serta memberikan jaminan bagi setiap warganya untuk beribadah dan memeluk kepercayaannya secara damai. Penutupan gereja dan tempat ibadah ini jika pemerintah tidak menindak para pelaku akan membuat nama Indonesia hancur di mata dunia internasional. Azyumardi menilai penutupan tersebut sekaligus membuktikan kegagalan pemerintah membangun semangat pluralisme dan kebhinekaan ditengah masyarakat. "Saya setuju dengan Prof Eck bahwa pluralisme bukanlah sebuah ideologi, bukan skema dari aliran kiri, dan bukan pula relativisme bebas. Pluralisme lebih merupakan sebuah proses dinamis dimana kita saling terlibat di dalam dan melalui perbedaan-perbedaan kita yang paling mendasar," paparnya. Dengan demikian adalah misleading, jika ada orang yang mengharamkan pluralisme sembari memisahkannya dengan pluralitas, berdasarkan pengertian yang keliru para ulama di MUI yang beranggapan bahwa pluralisme berarti menyamakan semua agama yang pada gilirannya berujung pada sinkretisme agama. Soal Pluralisme Sementara itu, Prof Dr Diana L Eck, guru besar ilmu perbandingan agama Harvard University, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk. Pluralisme lebih dari sekedar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, ada perbedaan yang harus ditekan. Dikatakan Diana, dirinya ingin menegaskan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi. Pluralisme lebih dari sekedar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang steoriotipe dan kekhawatiran yang biasa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Hal senada dikemukakan Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Dr Johan Effendi, mengemukakan penutupan geraja di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dalam beberapa waktu belakangan ini marak dilakukan oleh sekelompok orang berkedok organisasi keagamaan, jelas merupakan pelecehan terhadap aparatur negara dan merongrong kewibawaan pemerintah. “Sangat tidak masuk akal jika pemerintah dan aparat keamanan yang mengetahui hal ini terjadi namun membiarkannya dan membuat persoalan bertambah pelik karena dapat merusak kehidupan sosial dan bermasyarakat, lebih dari itu merusak persatuan dan kesatuan bangsa," ujar Johan Effendi kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (23/8). Menurut dia, sudah waktunya para pemuka agama besar di Indonesia bereaksi atas kasus ini karena dapat mencoreng demokrasi dan kehidupan masyarakat di Indoensia di mata dunia internasional. Alasan penutupan karena bangunan gereja itu tidak memiliki izin dan tidak mendapat persetujuan dari masyarakat juga tidak layak untuk dikemukakan. Sedangkan mantan menteri Agama, Tarmizi Taher menilai kasus tersebut menunjukan kerukunan antar umat beragama akan menjadi agenda nasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan bangsa sedikit banyak bergantung pada sejauh mana keharmonisan hubungan antarumat beragama ini.

META DATA

Kasus KBB
Tidak Diketahui
Solusi
Tidak Diketahui
Bentuk Solusi
Tidak Diketahui
Status KBB
Berpotensi Mendukung KBB
Data
Tautan
Komunitas Terdampak
Umat Kristen di Tanah Air